Sebut
saja namanya “Melina” dia adalah seorang wanita bersuku campuran. Bapaknya
berasal dari kota Bandung dan Ibunya dari kotaMakassar. Bapaknya adalah seorang
polisi berpangkat Serma, sedang ibunya adalah pengusaha kayu. singkat cerita, ketika hari pertama aku
ketemu dengan teman kuliahku, rasanya
kami langsung akrab karena memang sewaktu kami sama-sama duduk di bangku
kuliah, kami sangat kompak dan sering tidur bersama di rumah kos-ku di kota
Bone. Bahkan seringkali dia mentraktirku.“Nis, aku senang sekali bertemu
denganmu dan memang sudah lama kucari-cari, maukah kamu mengingap barang sehari
atau 2 hari di rumahku?”katanya padaku sambil merangkulku dengan erat sekali.
Nama teman kuliahku itu adalah “Nasir”.“Kita lihat saja nanti. Yang jelas aku
sangat bersukur kita bisa ketemu di tempat ini. Mungkin inilah namanya nasib
baik, karena aku sama sekali tidak menduga kalo kamu tinggal di kota Makassar
ini” jawabku sambil membalas rangkulannya. Kami berangkulan cukup lama di
sekitar pasar sentral Makassar, tepatnya di tempat jualan cakar.“Ayo kita ke
rumah dulu Nis, nanti kita ngobrol panjang lebar di sana, sekaligus
kuperkenalkan istriku” ajaknya sambil menuntunku naik ke mobil Feroza miliknya.
Setelah kami tiba di halaman rumahnya, Nasir terlebih dahulu turun dan segera
membuka pintu mobilnya di sebelah kiri lalu mempersilakan aku turun. Aku sangat
kagum melihat rumah tempat tinggalnya yang berlantai 2. Lantai bawah digunakan
sebagai gudang dan kantor perusahaannya, sementara lantai atas digunakan
sebagai tempat tinggal bersama istri. Aku hanya ikut di belakangnya.“Inilah
hasil usaha kami Nis selama beberapa tahun di Makassar” katanya sambil
menunjukkan tumpukan beras dan ruangan kantornya.“Wah cukup hebat kamu Sir. Usahamu
cukup lumayan. Kamu sangat berhasil
dibanding aku yang belum jelas sumber kehidupanku” kataku padanya.“Dar, Dar,
inilah teman kuliahku dulu yang pernah kuceritakan tempo hari. Kenalkan istri
cantik saya” teriak Nasir memanggil istrinya dan langsung kami dikenalkan.“Melina”,
kata istrinya menyebut namanya ketika kusalami tangannya sambil ia tersenyum
ramah dan manis seolah menunjukkan rasa kegembiraan.“Anis”, kataku pula sambil
membalas senyumannya.Nampaknya Melina ini adalah seorang istri yang baik hati,
ramah dan selalu memelihara
kecantikannya. Usianya kutaksir baru sekitar 25 tahun dengan tubuh sedikit langsing
dan tinggi badan sekitar 145 cm serta berambut agak panjang. Tangannya terasa hangat dan halus
sekali. Setelah selesai menyambutku, Melina
lalu mempersilakanku duduk dan ia buru-buru masuk ke dalam seolah ada urusan
penting di dalam. Belum lama kami bincang-bincang
seputar perjalanan usaha Nasir dan pertemuannya dengan Melina di Kota Makassar
ini, dua cangkir kopi susu beserta kue-kue bagus dihidangkan oleh Melina di
atas meja yang ada di depan kami.“Silakah Kak, dinikmati hidangan ala kadarnya” ajakan Melina
menyentuh langsung ke lubuk hatiku. Selain karena senyuman manisnya, kelembutan
suaranya, juga karena penampilan, kecantikan dan sengatan bau parfumnya
yang harum itu. Dalam hati kecilku mengatakan, alangkah senang dan bahagianya
Nasir bisa mendapatkan istri seperti Melina ini. Seandainya aku juga mempunyai
istri seperti dia, pasti aku tidak bisa ke mana-mana“Eh, kok malah melamun. Ada
masalahapa Nis sampai termenung begitu? Apa yang mengganggu pikiranmu?” kata
Nasir sambil memegang pundakku, sehingga aku sangat kaget dan tersentak.“Ti..
Tidak ada masalah apa-apa kok. Hanya aku merenungkan sejenak tentang pertemuan kita hari ini.
Kenapa bisa terjadi yah,” alasanku. Melina hanya terdiam mendengar kami
bincang-bincang dengan suaminya, tapi sesekali ia memandangiku dan menampakkan
wajah cerianya.“Sekarang giliranmu Nis
cerita tentang perjalanan hidupmu
bersama istri setelah sejak tadi hanya aku yang bicara.Silahkan saja cerita
panjang lebar mumpung hari ini aku tidak
ada kesibukan di luar. Lagi pula anggaplah hari ini adalah hari keistimewaan
kita yang perlu dirayakan bersama. Bukankah begitu Dar..?” kata Nasir seolah
cari dukungan dari istrinya dan waktunya siap digunakan khusus untukku.“Ok,
kalau gitu aku akan utarakan sedikit tentang kehidupan rumah tanggaku, yang sangat bertolak belakang
dengan kehidupan rumah tangga kalian” ucapanku sambil memperbaiki dudukku di
atas kursi empuk itu.“Maaf jika terpaksa
kuungkapkan secara terus terang. Sebenarnya
kedatanganku di kota Makassar ini justru karena dipicu oleh problem rumah
tanggaku. Aku selalu cekcok dan bertengkar dengan istriku gara-gara aku
kesulitan mendapatkan lapangan kerja yang layak dan mempu menghidupi
keluargaku. Akhirnya kuputuskan untuk
meninggalkan rumah guna mencari pekerjaan di kota ini. Eh.. Belum aku temukan
pekerjaan, tiba-tiba kita ketemu tadi setelah dua hari aku ke sana ke mari.
Mungkin pertemuan kita ini ada hikmahnya. Semoga saja pertemuan kita ini
merupakan jalan keluar untuk mengatasi kesulitan rumah tanggaku” Kisahku secara jujur pada
Nasir dan istrinya. Mendengar kisah sedihku itu, Nasir dan istrinya tak mampu
berkomentar dan nampak ikut sedih, bahkan kami semua terdiam sejenak. Lalu secara
serentak mulut Nasir dan istrinya
terbuka dan seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba mereka saling
menatap dan menutup kembali mulutnya seolah mereka saling mengharap untuk
memulai, namun malah mereka ketawa terbahak, yang membuatku heran dan memaksa
juga ketawa.“Begini Nis, mungkin pertemuan kita inibenar ada hikmahnya, sebab
kebetulan sekali kami butuh teman seperti kamu di rumah ini.Kami kan belum
dikaruniai seorang anak, sehingga kami selalu kesepian. Apalagi jika aku ke
luar kota misalnya ke Bone, maka istriku terpaksa sendirian di rumah meskipun
sekali-kali ia memanggil kemanakannya untuk menemani selama aku tidak ada, tapi
aku tetap menghawatirkannya. Untuk itu,
jika tidak memberatkan, aku inginkan kamu tinggal bersamaku. Anggaplah kamu sudah dapatkan lapangan kerja baru
sebagai sumber mata pencaharianmu.
Segala keperluan sehari-harimu, aku coba menanggung sesuai kemampuanku” kata
Nasir bersungguh-sungguh yang sesekali
diiyakan oleh istrinya.“Maaf kawan, aku tidak mau merepotkan dan membebanimu.
Biarlah aku cari kerja di tempat lain saja dan..” Belum aku selesai bicara,
tiba-tiba Nasir memotong dan berkata..“Kalau kamu tolak tawaranku ini berarti
kamu tidak menganggapku lagi sebagai sahabat. Kami ikhlas dan bermaksud baik
padamu Nis” katanya.“Tetapi,” Belum kuutarakan
maksudku, tiba-tiba Melina juga ikut bicara..“Benar Kak, kami sangat
membutuhkan teman di rumah ini. Sudah lama hal ini kami pikirkan tapi mungkin baru kali ini dipertemukan dengan orang yang tepat dan sesuai hati nurani. Apalagi
Kak Anis ini memang sahabat lama Kak Nasir, sehingga kami tidak perlu ragukan
lagi. Bahkan kami sangat senan jika Kak sekalian menjemput istrinya untuk
tinggal bersama kita di rumah ini” ucapan Melina memberi dorongan kuat
padaku.“Kalau begitu, apa boleh buat. Terpaksa kuterima dengan senang hati,
sekaligus kuucapkan terima kasihyang tak terhingga atas budi baiknya. Tapi
sayangnya, aku tak memiliki keterampilan apa-apa untuk membantu kalian” kataku
dengan pasrah.Tiba-tiba Nasir dan Melina bersamaan berdiri dan langsung
saling berpelukan, bahkan saling mengecup bibir sebagai tanda kegembiraannya. Lalu Nasir
melanjutkan rangkulannya padaku dan juga mengecup pipiku, sehingga aku sedikit
malu dibuatnya. “Terima kasih Nis atas kesediaanmu menerima tawaranku semoga kamu
berbahagia dan tidak kesulitan apapun di rumah ini.Kami tak membutuhkan
keterampilanmu, melainkan kehadiranmu menemani kami di rumahini. Kami hanya
butuh teman bermain dan tukar pikiran, sebab tenaga kerjaku sudah cukup untuk
membantu mengelola usahaku di luar. Kami
sewaktu-waktu membutuhkan nasehatmu dan istriku pasti merasa terhibur
dengan kehadiranmu menemani jika aku keluar rumah” katanya dengan sangat
bergembira dan senang mendengar persetujuanku. Kurang lebih satu bulan lamanya
kami seolah hanya diperlakukan sebagai raja di rumah itu. Makanku diurus oleh Melina,
tempat tidurku terkadang juga dibersihkan olehnya, bahkan ia meminta untuk
mencuci pakaianku yang kotor tapi aku keberatan. Selama waktu itu pula, aku
sudah dilengkapi dengan pakaian, bahkan kamar tidurku dibelikan TV 20 inch lengkap dengan VCD-nya.
Aku sangat malu dan merasa berutang budi pada mereka, sebab selain pakaian,
akupun diberi uang tunai yang jumlahnya cukup besar bagiku, bahkan belakangan
kuketahui jika ia juga seringkali kirim pakaian dan uang ke istri dan
anak-anakku di Bone lewat mobil. Kami bertiga sudah cukup akrab dan hidup dalam
satu rumah seperti saudara kandung bersenda gurau, bercengkerama dan bergaul
tanpa batas seolah tidak ada perbedaan status seperti majikan dan karyawannya.
Kebebasan pergaulanku dengan Melina memuncak ketika Nasir berangkat ke Sulawesi
Tenggara selama beberapa hari untuk membawa beras untuk di jual di sana karena
ada permintaan dari langgarannya. Pada malam pertama keberangkatan Nasir, Melina
nampak gembira sekali seolah tidak ada kekhawatiran apa-apa. Bahkan sempat
mengatakan kepada suaminya itu kalau ia tidak takut lagi ditinggalkan meskipun
berbulan-bulan lamanya karena sudah ada yang menjaganya, namun ucapannya itu
dianggapnya sebagai bentuk humor terhadap suaminya. Nasir pun nampak tidak ada kekhawatiran meninggalkan istrinya dengan alasan yang sama.
Malam itu kami (aku dan Melina) menonton bersama di ruang tamu hingga larut
malam, karena kami sambil tukar pengalaman,
termasuk soal sebelum nikah dan
latar belakang perkawinan kami masing-masing. Sikap dan tingkah laku Melina sedikit berbeda dengan malam-malam
sebelumnya. Malam itu, Melina membuat
kopi susu dan menyodorkanku bersama pisang susu, lalu kami nikmati bersama-sama
sambil nonton. Ia makan sambil berbaring di sampingku seolah dianggap biasa
saja. Sesekali ia membalikkan tubuhnya kepadaku sambil bercerita, namun aku pura-pura bersikap biasa, meskipun ada
ganjalan aneh di benakku.“Nis, kamu tidak keberatan khan menemaniku nonton malam ini? Besok khan tidak
ada yang mengganggu kita sehingga kita bisa tidur siang sepuasnya?” tanya Melina
tiba-tiba seolah ia tak mengantuk sedikitpun. “Tidak kok Dar. Aku justru
senang dan bahagia
bisa nonton bersama majikanku” kataku sedikit menyanjungnya. Melina lalu
mencubitkudan..“Wii de.. De, kok aku dibilangin
majikan. Sebel aku mendengarnya. Ah,
jangan ulang kata itu lagi deh, aku tak sudi dipanggil majikan” katanya.“Hi.. Hi.. Hi,
tidak salah khan. Maaf jika tidak senang, aku hanya main-main. Lalu aku harus
panggil apa? Adik, Non, Nyonya atau
apa?”“ Terserah dech, yang penting bukan majikan.
Tapi aku lebih seneng jika kamu
memanggil aku adik” katanya santai.“Oke kalau begitu maunya. Aku akan panggil adik saja” kataku lagi. Malam semakin larut. Tak
satupun terdengar suara kecuali suara kami berdua dengan suara TV. Melina
tiba-tiba bangkit dari pembaringannya. “Nis, apa kamu sering nonton
kaset VCD bersama istrimu?” tanya Melina
dengan sedikit rendah suaranya seolah tak mau didengar orang lain.“Eng..
Pernah, tapi sama-sama dengan orang lain juga karena kami
nonton di rumahnya” jawabku menyembunyikan sikap keherananku atas pertanyaannya
yang tiba-tiba dan sedikit aneh itu.“Kamu ingat judulnya? Atau jalan
ceritanya?” tanyanya lagi.“Aku lupa judulnya, tapi pemainnya adalah Rhoma Irama
dan ceritanya adalah masalah percintaan” jawabku dengan pura-pura bersikap
biasa. “Masih mau ngga kamu temani aku nonton film dari VCD?
Kebetulan aku punya kaset VCD yang banyak. Judulnya macam-macam. Terserah yang mana Anis
suka” tawarannya, tapi aku sempat berfikir kalau Melina akan memutar film yang aneh-aneh, film orang dewasa dan biasanya khusus ditonton oleh suami istri
untuk membangkitkan gairahnya.Setelah kupikir segala resiko, kepercayaan dan
dosa, aku lalu bikin alasan.“Sebenarnya aku senang sekali, tapi aku takut..
Eh.. Maaf aku sangat ngantuk. Jika tidak keberatan, lain kali saja, pasti kutemani” kataku sedikit bimbang dan takut
alasanku salah. Tapi akhirnya ia terima meskipun nampaknya sedikit kecewa di
wajahnya dan kurang semangat. “Baiklah jika memang kamu sudah ngantuk. Aku tidak
mau sama sekali memaksamu, lagi pula aku
sudah cukup senang dan bahagia kamu bersedia menemaniku nonton sampai selarut
ini. Ayo kita masuk tidur” katanya sambil mematikan TV-nya, namun sebelum aku
menutup pintu kamarku, aku melihat sejenak ia sempat memperhatikanku, tapi aku pura-pura tidak menghiraukannya. Di atas tempat tidurku, aku
gelisah dan bingung mengambil keputusan tentang alasanku jika besok atau lusa
ia kembali mengajakku nonton film tersebut. Antara mau, malu dan rasa takut selalu menghantukiku. Mungkin
dia juga mengalami hal yang sama, karena dari dalam kamarku selalu terdengar
ada pintu kamar terbuka dan tertutup serta air di kamar mandi selalu kedengaran
tertumpah. Setelah kami makan malam bersama keesokan harinya, kami kembali
nonton TV sama-sama di ruang tamu, tapi penampilan Melina kali ini agak lain
dari biasanya. Ia berpakaian serba tipis dan tercium bau parfumnya yang harum
menyengat hidup sepanjang ruang tamu itu. Jantungku sempat berdebar dan hatiku gelisah mencari alasan untuk
menolak ajakannya itu, meskipun gejolak hati kecilku untuk mengikuti kemauannya
lebih besar dari penolakanku.Belum aku sempat menemukan alasantepat, maka“Nis,
masih ingat janjimu tadi malam? Atau kamu sudah ngantuk lagi?” pertanyaan Melina
tiba-tiba mengagetkanku.“O, oohh yah, aku ingat. Nonton VCD khan? Tapi jangan yang seram-seram donk filmnya, aku tak suka. Nanti aku mimpi
buruk dan membuatku sakit, khan repot jadinya” jawabku mengingatkan untuk tidak
memutar film porn.“Kita liat aja permainannya. Kamu pasti senang menyaksikannya,
karena aku yakin kamu belum pernah menontonnya, lagi pula ini film baru” kata Melina
sambil meraih kotak yang berisi setumpuk kaset VCD lalu menarik sekeping kaset
yang paling di atas seolah ia telah mempersiapkannya, lalu memasukkan ke CD,
lalu mundur dua langkah dan duduk di sampingku menunggu apa gerangan yang akan
muncul di layar TV tersebut.Dag, dig, dug, getaran jantungku sangat keras
menunggu gambar yang akan tampil di layar TV. Mula-mula aku yakin kalau filmnya
adalah film yang dapat dipertontonkan secara
umum karena gambar pertama yang muncul
adalah dua orang gadis yang sedang berloma naik speed board atau sampan dan
saling membalap di atas air sungat. Namun dua menit kemudian, muncul pula dua
orang pria memburuhnya dengan naik kendaraan yang sama, akhirnya keempatnya
bertemu di tepi sungai dan bergandengan tangan lalu masuk ke salah satu villa
untuk bersantai bersama.Tak lama kemudian mereka berpasang-pasangan dan saling
membuka pakaiannya, lalu saling merangkul, mencium dan seterusnya
sebagaimana layaknya suami istri. Niat penolakanku tadi tiba-tiba
terlupakan dan terganti
dengan niat kemauanku. Kami tidak mampu
mengeluarkan kata-kata, terutama ketika
kami menyaksikan dua pasang muda mudi bertelanjang bulat dan saling menjilati
kemaluannya, bahkan saling mengadu alat yang paling vitalnya. Kami hanya bisa
saling memandang dan tersenyum.“Gimana Nis,? Asyik khan? Atau ganti yang lain
saja yang lucu-lucu?” pancing Melina, tapi aku tak menjawabnya, malah aku
melenguh panjang.“Apa kamu sering dan senang nonton film beginian bersama suamimu?” giliran aku
bertanya, tapi Melina hanya menatapku tajam lalu mengangguk.“Hmmhh” kudengar
suara nafas panjang Melina keluar dari mulutnya.“Apa kamu pernah praktekkan
seperti di film itu Nis?” tanya Melina ketika salahseorang wanitanya sedang
menungging lalu laki-lakinya menusukkan kontolnya dari belakang lalu
mengocoknya dengan kuat.“Tidak, belum pernah” jawabku singkat sambil kembali
bernafas panjang.“Maukah kamu mencobanya nanti?” tanya Melina dengan suara
rendah.“Dengan siapa, kami khan pisah dengan istri untuk sementara”
kataku.“Jika kamu bertemu istrimu nanti atau wanita lain misalnya” kata Melina.“Yachh..
Kita liat saja nanti. Boleh juga kami coba nanti
hahaha” kataku.“Nis, apa malam ini kamu
tidak ingin mencobanya?” Tanya Melina
sambil sedikit merapatkan tubuhnya padaku. Saking rapatnya sehingga tubuhnya
terasa hangatnya dan bau harumnya.“Dengan siapa? Apa dengan wanita di TV itu?” tanyaku
memancing.“Gimana jika dengan aku?
Mumpung hanya kita berdua dan nggak bakal ada orang lain yang tahu. Mau khan?”
Tanya Melina lebih jelas lagi mengarah sambil menyentuh tanganku, bahkan
menyandarkan badannya ke badanku.Sungguh aku kaget dan jantungku seolah copot
mendengar rincian pertanyaannya itu, apalagi ia menyentuhku. Aku tidak mampu
lagi berpikir apa-apa, melainkan menerima apa adanya malam itu. Aku tidak akan
mungkin mampu menolak dan mengecewakannya, apalagi aku sangat menginginkannya,
karena telah beberapa bulan aku tidak melakukan sex dengan istriku. Aku mencoba
merapatkan badanku pula, lalu mengelus tangannya dan merangkul punggungnya,
sehingga terasa hangatsekali.“Apa kamu serius? Apa ini mimpi atau kenyataan?”
Tanyaku amat gembira.“Akan kubuktikan keseriusanku sekarang. Rasakan ini
sayang” tiba-tiba Melina melompat lalu mengangkangi kedua pahaku dan duduk di atasnya sambil
memelukku, serta mencium pipi dan bibirku bertubi-tubi.Tentu aku tidak mampu
menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku segera menyambutnya dan membalasnya dengan
sikap dan tindakan yang sama. Nampaknya Melina sudah ingin segera membuktikan
dengan melepas sarung yang dipakainya, tapi aku belum mau membuka celana
panjang yang kepakai malam itu.Pergumulan kami dalam posisi duduk cukup lama,
meskipun berkali-kali Melina memintaku untuk segera melepaskan celanaku, bahkan
ia sendiri beberapa kali berusaha membuka kancingnya, tapi selalu saja kuminta
agar ia bersabar dan pelan-pelan sebab waktunya sangat panjang.“Ayo Kak Nis,
cepat sayang. Aku sudah tak tahan ingin membuktikannya” rayu Melina sambil
melepas rangkulannya lalu ia tidur telentang di atas karpet abu-abu sambil
menarik tanganku untuk menindihnya. Aku tidak tega membiarkan ia penasaran
terus, sehingga aku segera menindihnya.“Buka celana sayang. Cepat.. Aku sudah
capek nih, ayo dong,” pintanya.Akupun segera menuruti permintaannya dan melepas
celana panjangku. Setelah itu, Melina menjepitkan ujung jari kakinya ke bagian
atas celana dalamku dan berusaha mendorongnya ke bawah, tapi ia tak berhasil
karena aku sengaja mengangkat punggungku tinggi-tinggiuntuk
menghindarinya.Ketika aku mencoba menyingkap baju daster yang dipakaianya ke
atas lalu ia sendiri melepaskannya, aku kaget sebab tak kusangka kalau ia sama
sekali tidak pakai celana. Dalam hatiku bahwa mungkin ia memang sengaja
siap-siap akan bersetubuh denganku malam
itu. Di bawah sinar lampu 10 W yang dibarengi dengan cahaya TV yang semakin
seru bermain bugil, aku sangat jelas menyaksikan sebuah lubang yang dikelilingi
daging montok nan putih mulus yang tidak ditumbuhi bulu selembar pun.Tampak
menonjol sebuah benda mungil seperti biji kacang di tengah-tengahnya. Rasanya
cukup menantang dan mempertinggi birahiku, tapi aku tetap berusaha
mengendalikannya agar aku bisa lebih lama bermain-main dengannya. Ia sekarang sudah
bugil 100%, sehingga terlihat bentuk tubuhnya yang langsing, putih mulus dan
indah sekali dipandang.“Ayo donk, tunggu apa lagi sayang. Jangan biarkan aku tersiksa seperti ini” pinta Melina tak pernah berhenti
untuk segera menikmati puncaknya. “Tenang sayang. Aku pasti akan memuaskanmu malam ini,
tapi saya masih mau bermain-main lebih lama biar kita lebih banyak
menikmatinya”kataku Secara perlahan tapi pasti, ujung lidahku mulai menyentuh
tepi lubang kenikmatannya sehingga membuat pinggulnya bergerak-gerak dan
berdesis.“Nikmat khan kalau begini?” tanyaku berbisik sambil menggerak-gerakkan
lidahku ke kiri dan ke kanan lalu menekannya lebih dalam lagi sehinggaMelina
setengah berteriak dan mengangkat tinggi-tinggi pantatnya seolah ia menyambut
dan ingin memperdalam masuknya ujung lidahku.Ia hanya mengangguk dan
memperdengarkan suara desis dari mulutnya.“Auhh.. Aakkhh.. Iihh.. Uhh.. Oohh..
Sstt”suara itu tak mampu dikurangi ketika aku gocok-gocokkan secara lebih dalam
dan keras serta cepat keluar masuk ke lubang kemaluannya.“Teruuss sayang,
nikkmat ssekalii.. Aakhh.. Uuhh. Aku belum pernah merasakan seperti ini
sebelumnya” katanya dengan suara yang agak keras sambil menarik-narik kepalaku
agar lebih rapat lagi.“Bagaimana? Sudah siap menyambut lidahku yang panjang lagi keras?” tanyaku
sambil melepaskan seluruh pakaianku yang masih tersisa dan kamipun sama-sama
bugil.Persentuhan tubuhku tak sehelai benangpun yang melapisinya. Terasa
hangatnya hawa yang keluar dari tubuh kami.“Iiyah,. Dari tadi aku menunggu.
Ayo,. Cepat” kata Melina tergesa-gesa sambil membuka lebar-lebar kedua pahanya,
bahkan membuka lebar-lebar lubang vaginanya dengan menarik kiri kanan kedua
bibirnya untuk memudahkan jalannya kemaluanku masuk lebih dalam lagi.Aku pun
tidak mau menunda-nunda lagi karena memang aku sudah puas bermain lidah di
mulut atas dan mulut bawahnya, apalagi keduanya sangat basah. Aku lalu mengangkat kedua kakinya hingga bersandar
ke bahuku lalu berusaha menusukkan ujung kemaluanku ke lubang vagina yang sejak
tadi menunggu itu. Ternyata tidak mampu kutembus sekaligus sesuai keinginanku. Ujung kulit
penisku tertahan, padahal Melina sudah bukan perawan lagi.“Ssaakiit
ssediikit.., ppeelan-pelan sedikit” kata Melina ketika ujung penisku sedikit
kutekan agak keras. Aku gerakkan ke kiri
dan ke kanan tapi jugabelum berhasil amblas.Aku turunkan kedua kakinya lalu
meraih sebuah bantal kursi yang di belakanku lalu kuganjalkan di bawah
pinggulnya dan membuka lebar kedua pahanya lalu kudorong penisku agak keras
sehingga sudah mulai masuk setengahnya. Melinapun merintih keras tapi tidak
berkata apa-apa, sehingga aku tak peduli, malah semakin kutekandan kudorong
masuk hingga amblas seluruhnya. Setelah seluruh batang penisku terbenam semua,
aku sejenak berhenti bergerak karena capek dan melemaskan tubuhku di atas tubuh
Melina yang juga diam sambil bernafas panjang seolah baru kali ini menikmati
betul persetubuhan.Melina kembali menggerak-gerakkan pinggulnya dan akupun
menyambutnya. Bahkan aku tarik maju mundur sedikit demi sedikit hingga jalannya
agak cepat lalu cepat sekali. Pinggul kami bergerak, bergoyang dan berputar
seirama sehingga menimbulkan bunyi-bunyian yangberirama pula.“Tahan sebentar”
kataku sambil mengangkat kepala Melina tanpa mencabut penisku dari lubang
vagina Melina sehingga kami dalam posisi duduk.Kami saling merangkul dan
menggerakkan pinggul, tapi tidak lamakarena terasa sulit. Lalu aku berbaring
dan telentang sambil menarik kepada Melina mengikutiku, sehingga Melina berada
di atasku. Kusarankan agar ia menggoyang, mengocok dan memompa dengan keras
lagi cepat. Ia pun cukup mengerti keinginanku sehingga kedua tangannya bertumpu
di atas dadaku lalu menghentakkan agak keras bolak balik pantatnya ke penisku,
sehingga terlihat kepalanya lemas dan seolah mau jatuh sebab baru kali itu ia
melakukannya dengan posisi seperti itu. Karena itu, kumaklumi jika ia cepat
capek dan segera menjatuhkan tubuhnya menempel ke atas tubuhku, meskipun
pinggulnya masih tetap bergerak naik turun.“Kamu mungkin sangat capek.
Gimanakalau ganti posisi?” kataku sambil mengangkat tubuh Melina dan melapas
rangkulannya.“Posisi bagaimana lagi? Aku sudah beberapa kali merasa nikmat
sekali” tanyanya heran seolah tidak tahu apa yang akan kulakukan, namun tetap
ia ikuti permintaanku karena ia pun merasa sangat nikmat dan belum pernah
mengalami permainan seperti itu sebelumnya.“Terima saja permainanku. Aku akan tunjukkan beberapa
pengalamanku”“Yah.. Yah.. Cepat lakukan apa saja” katanya singkat.Aku berdiri
lalu mengangkat tubuhnya dari belakang
dan kutuntunnya hingga dia dalam posisi nungging. Setelah kubuka sedikit kedua
pahanya dari belakan, aku lalu menusukkan kembali ujung penisku ke lubangnya lalu mengocok dengan
keras dan cepat sehingga menimbulkan bunyi dengan irama yang indah seiring
dengan gerakanku. Melina pun terengah-engah dan napasnya terputus-putus
menerima kenikmatan itu. Posisi kami ini tak lama sebab Melina tak mampu
menahan rasa capeknya berlutut sambil kupompa dari belakang. Karenanya, aku
kembalikan ke posisi semula yaitu tidur telentang dengan paha terbuka lebar
lalu kutindih dan kukocok dari depan, lalu kuangkat kedua kakinya bersandar ke
bahuku.Posisi inilah yang membuat permainankami memuncak karena tak lama
setelah itu, Melina berteriak-teriak sambil merangkul keras pinggangku dan
mencakar-cakar punggungku. Bahkan sesekali menarik keras wajahku menempel ke
wajahnya dan menggigitnya dengan gigitan kecil. Bersamaan dengan itu pula, aku
merasakan ada cairan hangat mulai menjalar di batang penisku, terutama ketika
terasa sekujur tubuh Melina gemetar.Aku tetap berusaha untuk menghindari
pertemuan antara spermaku dengan sel telur Melina, tapi terlambat, karena baru
aku mencoba mengangkat punggungku dan berniat menumpahkan di luar rahimnya,
tapi Melina malah mengikatkan tangannya lebih erat seolah melarangku
menumpahkan di luar yang akhirnya cairan kental dan hangat itu terpaksa tumpah
seluruhnya di dalam rahim Melina. Melina nampaknya tidak menyesal, malah
sedikit ceria menerimanya, tapi aku diliputi rasa takut kalau-kalau jadi janin
nantinya, yang akan membuatku malu dan hubungan persahabatanku
berantakan.Setelah kami sama-sama mencapai puncak, puas dan menikmati
persetubuhan yang sesungguhnya, kami lalu tergeletak di atas karpet tanpa
bantal. Layar TV sudah berwarna biru karena pergumulan filmnya sejak tadi
selesai. Aku lihat jam dinding menunjukkan pukul 12.00 malam tanpa terasa kami
bermain kurang lebih 3 jam. Kami sama-sama terdiam dan tak mampu berkata-kata apapun hingga tertidur lelap.
Setelah terbangun jam 7.00 pagi di tempat itu, rasanya masih terasa capek
bercampur segar.“Nis, kamu sangat hebat.
Aku belum pernah mendapatkan kenikmatan dari suamiku selama ini seperti yang
kamu berikan tadi malam” kata Melina ketika ia juga terbangun pagi itu sambil
merangkulku.“Benar nih, jangan-jangan hanya gombal untuk menyenangkanku”
tanyaku.“Sumpah.. Terus terang suamiku lebih banyak memikirkan kesenangannya dan posisi mainnya hanya satu
saja.Ia di atas dan aku di bawah. Kadang dia loyo sebelum kami apa-apa.
Kontolnya pendek sekali sehingga tidak mampu memberikan kenikmatan padaku
seperti yang kami berikan. Andai saja kamu suamiku, pasti aku bahagia sekali
dan selalu mau bersetubuh, kalau perlu setiap hari dan setiap malam” paparnya
seolah menyesali hubungannya dengan suaminya dan membandingkan denganku.“Tidak boleh sayang. Itu namanya sudah jodoh yang
tidak mampu kita tolak. Kitapun berjodoh bersetubuh dengan cara selingkuh.
Sudahlah. Yang penting kita sudah menikmatinya dan akan terus menikmatinya”
kataku sambil menenangkannya sekaligus mencium keningnya.“Maukah kamu terus
menerus memberiku kenikmatan seperti tadi malam itu ketika suamiku tak ada di
rumah” tanyanya menuntut janjiku.“Iyah, pasti selama aman dan aku tinggal
bersamamu. Masih banyak permainanku yang belum kutunjukkan” kataku berjanji
akan mengulanginya“Gimana kalau istri dan anak-anakmu nanti datang?” tanyanya
khawatir.“Gampang diatur. Aku kan
pembantumu, sehingga aku bisa selalu dekat denganmu tanpa kecurigaan istriku. Apalagi
istriku pasti tak tahan tinggal di kota sebab ia sudah terbiasa di kampung
bersama keluarganya tapi yang kutakutkan jika kamu hamil tanpa diakui suamimu”
kataku.“Aku tak bakal hamil, karena aku akan memakan pil KB sebelum bermain
seperti yang kulakukan tadi malam, karena memang telah kurencanakan” kara Melina
terus terang. Setelah kami bincang-bincang sambil tiduran di atas karpet, kami lalu ke kamar mandi masing-masing
membersihkan diri lalu kami ke halaman rumah membersihkan setelah sarapan pagi
bersama. Sejak saat itu, kami hampir setiap malam melakukannya, terutama ketika
suami Melina tak ada di rumah, baik siang hari apalagi malam hari, bahkan
beberapa kali kulakukan di kamarku ketika suami Melina masih tertidur di
kamarnya, sebab Melina sendiri yang mendatangi kamarku ketika sedang “haus”. Entah
sampai kapan hal ini akan berlangsung, tapi yang jelas hingga saat ini kami
masih selalu ingin melakukannya dan belum ada tanda-tanda kecurigaan dari
suaminya dan dari istriku
Jumat, 24 April 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar